Kan Ku Kenang Selalu
Karya
: Nicholas Spark
Malam
itu latihan dilakukan di Play-house. Latihan terakhir sebelum pementasan
pertama, dan masih banyak yang harus kami kerjakan. Sepulang sekolah, siswa
laki-laki di kelas drama harus membawa semua property panggung dari ruang kelas
ke truk sewaan untuk diangkut ke Playhouse. Masalahnya adalah siswa
laki-lakinya hanya aku dan Eddie, dan Eddie bukanlah orang yang indra-indranya
terkooninir dengan baik. Kami harus melewati sebuah pintu, menggotong barang
berat, dan postur Hoovillenya menjadi kendala. Pada setiap saat yang kritis
ketika aku betul-betul memerlukan bantuannya untuk menahan beban, ia akan
tersandung debu atau seekor serangga di lantai, sehingga latar property
panggung itu akan ditimpakan pada jari-jariku, yang kemudian akan terjepit di
kusen pintu dengan cara yang amat menyakitkan.
“S-s-sori,”
kata Eddie. “Sakit … ya?”
Jawabku
dengan sengit, “Pokoknya jangan lakukan itu lagi.”
Namun,
Eddie tidak bisa mencegah dirinya untuk tidak tersandung-sandung lagi, sama
seperti halnya ia tidak mempu mencegah turunnya hujan. Pada saat kami selesai
membongkar pasang semuanya, jemariku tampak seperti jemari Tobbu, si tukang
serabutan. Bagian terburuknya adalh, aku bahkan tidak sempat makan sebelum
latihan dimulai. Memindah-mindahkan property panggung itu telah menghabiskan
waktu tiga jam, dan kami beru selesai memasangnya kembali beberapa menit
sebelum yang lain tiba untuk mulai latihan. Dengan semua keajaiban yang
berlangsung, hari itu, boleh dikatakan suasana hatiku betul-betul tidak baik.
Aku
mengucapkan dialog-dialogku tanpa konsentrasi, dan Miss Garber tidak sekali pun
mengucapka kata luar biasa sepanjang malam. Matanya menunjukkan keprihatinan,
namun Jamie hanya tersenyum dan mengatakan padanya agar tidak khawatir, dan
semuanya akan baik-baik saja. Aku tau Jamie Cuma ingin mempermudah keadaan,
tapi aku menolaknya ketika ia memintaku mengantarkan pulang.
Playhouse
terletak ditengah-tengah kota, dan aku harus berjalan kea rah yang berbeda
dengan arah rumahku untuk mengantarnya pulang. Selain itu, aku tidak ingin
terlihat mengantarnya pulang lagi. Namun Miss Garber kebetulan mendengar
pembicaraan kami dan berkata dengan nada tegas, bahwa aku akan menemaninya
dengan senang hati. “Kalian berdua bisa mengobrol tentang pementasan itu,”
ujarnya. “Mungkin kalian bisa melatih bagian-bagian yang masih kaku.” Tentu
saja, yang dimaksud kaku disini adalah aku.
Jadi
sekali lagi aku mengantar Jamie pulang, tapi ia pasti tau bahwa aku sedang
tidak ingin berbicara karena aku melangkah sedikit lebih jauh di depannya.
Kedua tanganku di dalam saku, bahkan aku tidak menoleh ke belakang untuk
melihat apakah ia mengikutiku. Ini berlangsung selama beberapa menit pertama,
dan aku tidak mengucapkan sepatah kata pun padanya.
“Suasana
hatimu sedang tidak baik, ya?” Tanya Jamie akhirnya. “Kau bahkan tidak berusaha
malam ini.”
“Tidak
ada yang luput dari perhatiannmu, kan?” sahutku ketus tanpa menolegh ke
arahnya.
“Mungkin
aku bisa membantu,” usulnya. Nadanya terdengar tulus, yang membuatku jadi
semakin kesal.
“Aku
tidak yakin,” bentakku.
“Mungkin,
kalu kau mau menceritakan padaku apa yang mengganjal….”
Aku
tidak membiarkan Jamie menyesalkan ucapnya.
“Dengar,”
kataku, seraya berhenti dan berdiri berhadapan dengannya. “Aku menghabiskan
waktu untuk menggotong-gotong property sialan itu. Aku belum makan sejak siang,
dan sekarang aku harus berjalan extra satu mil hanya untuk memastikan kau
sampai rumah, padahal kita sama-sama tahu bahwa kau sebetulnya tidak
memerluakanku untuk mengantar pulang.”
Baru
pertama kali itulah aku menaikkan volume suaraku saat berbicara dengannya.
Terus terang, rasanya lumayan menyenangkan. Aku sudah memendamnya sekian lama.
Jamie tampak sangat terkejut untuk menanggapi kamarahanku, dan aku terus
melanjutkan.
“Satu-satunya
alasanku melakukan ini adalah karena
ayahmu, yang bahkan tidak menyukaiku. Semua ini betul-betul konyol. Aku
berharap tidak pernah setuju untuk melakukannya.”
“Kau
Cuma mengatakan semua ini karena kau tegang menghadapi pementasan besok….”
Aku
memotong ucapnya dengan gelengan kepala. Sekali aku sudah mulai, kadang-kadang
sulit bagiku untuk berhenti. Aku hanya mampu menghadapi sikap optimis dan
keceriaannya sampai di sini, dan ini bukan hari yang tepat untuk mendesakku
makin jauh.
“Kau
masih juga belum mengerti, ya?” tanyaku gusar. “Aku sama sekali tidak merasa
tegang menghadapi pementasan. Aku cuma sedang tidak ingin berada di sini. Aku
tidak ingin mengantarmu pulang, aku tidak ingin teman-temanku terus
membicarakanku, dan aku tidak ingin menghaiskan waktu bersamamu. Kau terus
berlagak seakan kita berteman, tapi nyatanya tidak begitu. Kita tidak punya
hubungan apa-apa. Aku cuma ingin semua ini segera berakhir dan aku bisa kembali
ke kehidupan normalku.”
Jamie
tampak sakit hati menerima luapan kemarahanku, dan sejujurnya, aku tidak dapat
menyalahkannya.
0 komentar:
Posting Komentar